Menyegarkan Kesetiaan
lukisan cat minyak pada kanvas
95 x 80cm
karya Herjaka HS 2016
Sawitri Oh
Sawitri
Herjaka HS
(3) Mutiara di Belik
Setiap pergantian
hari, Sawitri selalu mengawalinya dengan meninggalkan penginapan untuk meneruskan
perjalanannya. Pagi itu udara terasa segar dan langit cerah. Sawitri sengaja
menyusuri jalan setapak di pinggir sungai. Setelah beberapa lama berjalan, ia
melewati sebuah belik. Belik adalah mataair kecil yang terletak di tebing pinggiran
sungai. Kejernihan air belik yang tak
pernah berhenti mengalir biasanya dimanfatkan oleh penduduk setempat untuk
berbagai macam kebutuhan, seperti mencuci, dan mandi, ataupun hanya diambil
airnya untuk keperluan rumah tangga.
Jika
sebelumnya, setiap kali melewati sebuah belik, tidak ada sesuatupun yang
menarik perhatiannya, namun tidak demikian dengan belik yang dilihatnya kali
ini. Ada pemandangan yang istimewa di mata Sawitri, yaitu seorang jejaka muda
berpakaian brahmana sedang melakukan sesuatu. Sepertinya ia sudah biasa karena dengan
tidak canggung ia berbaur dengan para wanita, baik yang tua mau pun yang muda.
Sawitri
termangu, ada kekuatan yang tidak kelihatan dan begitu besar menghentikan langkahnya. Hatinya
berontak, kenapa aku harus berhenti, bukankah langkahku masih panjang?
Sawitri
menjadi ragu dengan pernyataannya sendiri. Benarkah langkahku masih panjang?
Ataukah aku harus berhenti di sini, paling tidak untuk beberapa saat, sebelum
melanjutkan langkah? Tetapi untuk apa aku harus berhenti di sini? Untuk brahmana
muda itukah?
Tidak! Aku
harus melanjutkan perjalananku hingga sampai pada saatnya aku menemukan
“mutiara” yang aku cari. Tetapi bagaimana jika senyatanya mutiara itu ada di
sini?
Selagi
Sawitri masih bergumul dengan dirinya sendiri, tiba-tiba pikirannya buyar
karena brahmana muda yang sedang menjadi subjek pergumulan batinnya, menyapa
dirinya.
“Den
Ayu, engkau kelihatan letih dan lelah. Tidakkah engkau mau berhenti sejenak
untuk membasuh kaki, tangan, dan wajah agar menjadi segar?”
Sawitri
terkejut dan menoleh kearah brahmana muda itu. Raden Ayu? Ia menyebut aku Raden
Ayu, dan menyuruh aku membasuh kaki, tangan dan wajah agar menjadi segar dan
tidak letih. Jangan-jangan ia tahu siapa aku sebenarnya. Sawitri menjadi takut
mendekat. Ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya.
Membaca
gelagat bahwa wanita cantik itu mau melangkah pergi, brahmana muda itu
buru-buru mendekat sembari mengulangi sapaannya.
“Jangan berlalu dulu Raden Ayu, sebelum engkau
merasakan sejuk dan jernihnya air belik ini.”
Keraguan
Sawitri kembali membelah pikirannya. Ia berhenti dan mengarahkan pandangannya
kearah brahmana muda yang tepat berada di depannya. Dhuh Gusti, nyuwun kiyat. Hati Sawitri berdesir ketika matanya beradu pandang dengan mata brahmana muda yang jernih dan bening,
sebening air belik di depannya, yang mampu memberi rasa damai.
Tidak
hanya Sawitri, brahmana muda itu pun merasakan hal yang sama. Hatinya mendesir
bahagia beradu pandang dengan Sawitri. Adhuh Hyang Widi Wasa, siapakah wanita
ini? Jika tidak beradu pandang sangat dekat seperti ini, siapa yang akan menyangka
bahwa wanita dengan pakaian layaknya pedagang pasar ini sungguh cantik luar
biasa? Matanya seperti bintang panjer
sore, menyala terang berkedip-kedip tidak menyilaukan. Hidungnya, pipinya
dan bibirnya, sungguh sempurna.
Ketika melihat
wanita yang ada di depannya, brahmana muda bernama Setiawan ini sejenak lupa
akan derita batinnya. Semoga ini bukan mimpi, tetapi kenyataan. Kecuali jika Raden
Ayu ini cepat berlalu dari hadapannya dan tidak pernah bertemu kembali. Oleh
karena itu untuk mencegah agar pertemuan ini tidak segera berlalu Setiawan
segera mengacungkan ibu jarinya, mempersilakan Sawitri menuruni jalan setapak
menuju belik.
Sawitri
pun berubah pikiran untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Karena tatapan mata sang
brahmana muda itu, Sawitri menuruti isyarat tangannya, berjalan menuju ke
sumber mata air, sembari berharap agar pertemuannya dengan brahmana muda ini merupakan
jawaban atas apa yang menjadi mimpinya selama ini.
Di belik
itu, ketika beberapa orang mulai meninggalkan belik, perkenalan merekapun
berproses secara alami dan apa adanya. Setiawan menyebutkan namanya di hadapan Sawitri dan ganti Sawitri yang
menyebutkan namanya di depan Setiawan.
Saat
nama terucap dari bibir mereka masing-masing,
bak mantra sakti mengetuk lembut pintu hati mereka, sehingga dengan halus
pintu-pintu itu membuka pelan. Walaupun masih merasa canggung, keduanya ingin
saling memasuki pintu hati yang telah terbuka dan belum ada penghuninya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment