Bulan tampak
bersinar karena kegelapan. Semakin gelap keadaannya, akan semakin terang Bulan
itu bersinar. Namun sesungguhnya kehadiran Bulan tidak untuk kegelapan, melainkan
untuk anak-anak terang, agar mereka mampu bangkit untuk mengusir kegelapan.
lukisan tinta pada kertas
50 cm x 35 cm
karya Herjaka HS 2016
Sawitri Oh Sawitri
herjaka HS
(6). Menjadi Cahaya
Hampir satu bulan Sawitri merawat Begawan Jumatsena. Tidak
hanya mengobati matanya secara rutin dengan minyak hati ikan tetapi juga
mencoba memulihkan jiwanya yang tanpa asa, karena sesungguhnya kebutaan mata
Begawan Jumatsena berkaitan erat dengan keterpurukan jiwanya.
“Begawan Jumatsena apakah rasa sakit pada bola mata Begawan
semakin berkurang?”
“Iya Sawitri, mataku tidak gelap pekat lagi. Sinar mentari
mulai menembus bola mataku.”
“Syukurlah, itu pertanda bahwa Begawan telah memulai dengan
cahaya pengharapan baru.”
“Benar Sawitri, dan cahaya itu adalah engkau sendiri. Sejak
engkau merawatku aku jadi bersemangat untuk sembuh.”
“Janganlah berlebihan Begawan. Bukankah sebelumnya Setiawan telah melakukan apa yang aku lakukan?”
“Itu tidak salah Sawitri. Tetapi, Setiawan adalah anakku, ia
juga menderita, bahkan mungkin lebih menderita dari pada aku. Bagaimana mungkin
orang yang menderita menyembuhkan orang lain yang menderita? Paling-paling yang
bisa dilakukan hanyalah saling menghibur dan menguatkan.
Lain halnya dengan engkau, Sawitri. Engkau orang lain yang
belum mengenal aku sama sekali, kecuali penderitaanku. Jika kemudian engkau mau
masuk dan mengalami penderitaanku, bukan berarti bahwa engkau ingin menderita,
tetapi engkau ingin mengentaskan aku dari penderitaan itu. Oleh karenanya,
sebagai orang yang tidak menderita engkau tahu persis bagaimana caranya menyembuhkan penderitaanku ini.”
Sawitri mengangguk-angguk walaupun tidak sepenuhnya
membenarkan pendapat Jumatsena,
“Begawan, apakah Setiawan sering meluangkan waktu untuk
ngobrol seperti ini?”
“Tidak, Sawitri, sepertinya ia asyik dengan dirinya sendiri.
Mungkin itulah cara dia bertahan dalam penderitaan. Sepertinya ia tidak
mengusir penderitaan itu melainkan justru menikmati penderitaan itu. Lain
halnya dengan aku. Aku mengaku kalah dengan penderitaan itu, sehingga cenderung
nglokro dan putus asa.
Namun, kini setelah engkau hadir diantara kami, barulah
terbuka mataku bahwa mengalah dengan penderitaan seperti aku maupun menikmati
penderitaan seperti Setiawan itu tidak benar. Penderitaan itu harus dilawan,
dienyahkan dari kehidupan kita.”
“Benar Begawan, karena jika dibiarkan, penderitaan itu bakal
menggerogoti hidup kita.”
“Tetapi jika tidak dibantu oleh orang lain yang tidak
menderita, seseorang yang menderita tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
penderitaan itu.”
“Tepat Begawan. Sesungguhnya tidak hanya yang menderita, yang
tidak menderita pun saat penderitaan itu datang, tidak mempunyai kekuatan
yang cukup untuk menghalau penderitaan
tersebut. Hanya satu kekuatan yang dapat menguasai penderitaan itu, yakni Sang
Hyang Mahakuasa.”
“Aku paham bahwa penderitaan itu berada dalam kuasa-Nya, dan
dengan penderitaan itu Hyang Mahakuasa menguji manusia. Tetapi yang menjadi
pertanyaan adalah, jika aku tidak lulus
dalam ujian itu dan bahkan hancur oleh penderitaan yang dicobakan, lalu
siapakah yang disalahkan?”tanya Begawan
“Begawan, menurut pemahamanku penderitaan di dunia ini bukan
berasal dari Hyang Mahakuasa, tetapi
penderitaan itu digunakan oleh Sang Mahakuasa untuk menjadikan manusia dekat
dan bergantung kepada-Nya, tahan uji, tekun serta berpengharapan.”
Begawan Jumatsena diam. Kata-kata Sawitri telah menyentuh
dasar hati. Ada energi pengharapan yang
semakin besar, dibarengi dengan munculnya cahaya temaram di bola matanya.
Siapakah Sawitri itu sesungguhnya, pastilah bukan warga kota biasa seperti
pengakuannya. Jangan-jangan ia seorang brahmacari atau putri raja, kata Jumatsena dalam hati. (bersambung)
No comments:
Post a Comment