Mahkluk Kingkara, pasukan pencabut nyawa
lukisan tinta pada kertas
35 x 50 cm
karya herjaka HS 2010
Sawitri Oh Sawitri
herjaka HS
(17) Bertepuk Sebelah Tangan
Dulu sewaktu masih muda, Yama dipati pernah jatuh cinta
kepada bidadari Kahyangan yang bernama Mumpuni. Ia adalah bidadari yang hampir
sempurna kecantikannya. Tidak hanya
Yamadipati, setiap orang maupun dewa tidak ada yang tidak terpana ketika
melihat Dewi Mumpuni.
Setiap kali Yamadipati melihat Dewi Mumpuni, entah di paseban
agung para dewa-dewi, atau dikesempatan lain,
hatinya berdesir dan jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, Yamadipati berusaha menyembunyikan
gemuruh asmara yang ada dalam hatinya. Karena jika ketahuan, tentu dirinya
menjadi sasaran olok-olokan.
Menyadari bahwa dirinya tidak sebanding jika bersanding dengan
Dewi Mumpuni, maka diputuskan untuk mengubur cinta itu dalam-dalam. Rupanya hal
itu tidaklah mudah, ia lupa bahwa cinta yang ditanam bukannya mati, tetapi akan
bersemi dan tumbuh. Semakin dalam ditanam, semakin kuat mengakar.
“Baiklah jika demikian, cinta itu akan ku bakar, biar hangus
jadi abu tanpa sisa,” katanya.
Tetapi, nyatanya cinta itu bahkan berkobar semakin besar, menjilat-jilat, lola-laline dapat membakar diri sendiri hingga menjadi arang.
“Ah, tidak kuat aku menanggung segunung cinta atas Dewi
Mumpuni.”
Maka kemudian diputuskan untuk berbagi beban dengan Batara
Narada yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya.
Batara Narada merasa iba mendengar penuturan keponakannya.
Yamadipati harus diselamatkan. Jangan sampai jatuh teperdaya karena asmara.
Karena jika hal itu terjadi, tugas-tugasnya dikhawatirkan bakal terganggu.
Oleh karena itu, pada suatu waktu, ketika Batara Guru ingin
memberi penghargaan kepada Yamadipati karena telah menjalankan tugasnya dengan
baik, Batara Narada dengan sertamerta mengusulkan agar Yamadipati diberi triman Dewi Mumpuni. Batara Guru setuju
dengan usul patihnya. Maka, keduanya dipanggil pada upacara khusus. Batara Guru,
sebagai raja Kahyangan, tempat para dewa-dewi, bersabda, dan menerimakan Dewi
Mumpuni sebagai istri Dewa Yamadipati.
Tidak dapat diukur, betapa besar sukacita Yamadipati mendapat triman Dewi Mumpuni. Dalam hati ia berjanji akan mencintai Dewi
Mumpuni dengan sepenuh hati.
Setelah menjadi suami istri, keduanya tinggal di Kahyangan
Hargodumilah, yang sejuk damai. Tiada waktu berlama-lama, Yamadipati pun
kembali melakukan tugas-tugas rutinnya. Jika tidak sedang mencabut nyawa dan menunaikan
tugasnya di neraka, ia menyempatkan diri pulang ke rumah untuk menemui sang
istri yang telah membelah jiwanya.
Ya, Yamadipati selalu rindu untuk pulang ketika merasa penat
saat mengemban tugas. Ia ingin menemui istrinya untuk bersama-sama berada dalam
selimut cinta, demi merasakan kehangatan jiwa dan kedamaian hati. Juga untuk
mendapatkan gairah dan semangat baru dalam melanjutkan tugas-tugasnya.
Yamadipati memang tinggal satu rumah dengan Dewi Mumpuni.
Tetapi mereka tidak menjadi satu hati. Ia tidak mendapatkan apa yang semestinya
ia dapatkan dari pasangan hidupnya. Bahkan, semakin lama sikap dewi Mumpuni
semakin dingin., sedingin makanan yang ia sajikan di meja.
Atas sikap Dewi Mumpuni tersebut, kesabaran Yamadipati pun
diuji. Bagaimanakah ia harus bersikap menghadapi istrinya yang tidak
mencintainya, bahkan cenderung takut terhadap dirinya.
Dikarenakan cintanya kepada sang istri terlalu besar,
Yamadipati yang penyabar menjadi semakin bertambah sabar. Sebesar apapun
kekecewaan yang didapat dari Dewi Mumpuni, lebih besar cinta dan kesabaran yang
diberikan kepada Dewi Mumpuni.
Oleh karena itu untuk menghindari agar tidak terlalu banyak kekecewaan
yang didapat, Yamadipati memutuskan untuk jarang pulang, karena jika kembali
pulang sama halnya dengan menjilati ujung belati untuk merasakan darahnya
sendiri, kepedihannya sendiri.
Langkah yang diambil Yamadipati tidak menjadikan Dewi Mumpuni
menyadari kesalahannya dan kemudian membenahi diri sebagai istri, malahan
dijadikan kesempatan untuk menjalin asmara dengan Bambang Nagatamala, putera
Sang Hyang Antaboga, dewa penguasa bumi, yang tinggal di Kahyangan Sapta
Pertala.
Sesungguhnya, jauh sebelum dijadikan triman, Dewi mumpuni telah mengagumi sosok Bambang Nagatatmala.
Demikian pula sebaliknya. Rasa kagum itulah yang kemudian bertumbuh menjadi
benih cinta. Walaupun belum sempat menyembul ke permukaan, benih itu masih
hidup.
Keputusan Batara Guru memberikan triman Dewi Mumpuni kepada Yamadipati, tidak mengakibatkan benih
itu mati. Bahkan, akarnya semakin kuat. Baik
Dewi Mumpuni mau pun Bambang Nagatatmala sama-sama merasakan bahwa tidak ada
kebahagiaan yang bisa didapat di luar cinta mereka berdua. (bersambung)
No comments:
Post a Comment