Ibu Marganingsih (Ibu adalah jalan kasih)
oil on canvas
110 x 90cm
karya herjaka hs 2017
Sawitri Oh Sawitri
herjaka hs
(13) Mengawali dari Nol
Tidak ada yang luar biasa pada kehidupan pasangan baru
tersebut di Arga Kenanga. Setiawan dan Sawitri menjalani kehidupan rutin
sehari-hari seperti orang-orang pada umumnya ketika mulai membangun hidup
berumah tangga.
Tekad Sawitri telah bulat, ingin bersama Setiawan menjalani
hidup yang telah dianugerahkan. Mereka pun telah sepakat untuk bersama-sama
bertekun menghidupkan dan menghidupi cinta dan kesetiaan dengan penuh
pengharapan untuk memayu hayuning bawana.
Hari-hari mereka dinikmati dan disyukuri dengan penuh suka
cita. Selain berperan sebagai pendamping
suami, Sawitri secara khusus juga melayani Begawan Jumatsena, ayah mertuanya,
yang buta.
Namun, di balik kehidupan yang biasa-biasa saja itu, ada
nilai-nilai luhur yang ditawarkan keluarga baru tersebut, yaitu kesetiaan,
kerendahan hati, ketulusan, kesabaran dan keluhuran budi.
Tidak berlebihan jika kehadiran Sawitri di keluarga Jumatsena
yang menghidupi nilai-nilai tersebut, dapat diibaratkan seperti telaga tiban telaga yang tiba-tiba tersembul
dari bumi Arga Kenanga, telaga yang menawarkan kejernihan, kesegaran, serta
keindahan bagi orang-orang di sekitarnya.
Dalam menjalani hidup berumah tangga, Setiawan dan Sawitri
telah membuktikan kesetiaan mereka. Mereka saling menghidupi serta saling
memperbarui janji perkawinan yang telah diguratkan di dalam hati mereka. Janji
akan selalu mencintai, dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang,
serta dalam sehat mau pun sakit.
Waktu pun merambat pasti, tidak terasa hampir setahun Sawitri
meninggalkan kotaraja serta keluarganya untuk mengikuti suaminya di pertapaan.
Lima hari menjelang setahun usia perkawinan mereka, Sawitri bertanya kepada
Setiawan,
“Kakang lima hari lagi usia perkawinan kita genap satu tahun.
Adakah yang menggelisahkan hati Kakang?”
“Dinda Sawitri, haruskah aku gelisah saat istriku selalu ada
disampingku?”
“Terimakasih Kakang. Tetapi, apakah Kakang Setiawan
mengetahui apa yang bakal terjadi lima hari ke depan?”
“Aku tahu Dinda, bukankah para brahmana suci telah meramalkan
bahwa umurku akan segera berakhir?”
“Oh, Kakang”
Sawitri mengeluh lirih sembari membenamkan wajahnya di dada
Setiawan.
“Tidakkah engkau takut akan kematian itu, Kakang?”
“Kenapa harus takut, Dinda. Bukankah kematian adalah sarana
untuk memasuki kehidupan abadi yang membahagiakan? Jika nanti dewa pencabut
nyawa tiba untuk mencabut nyawaku, aku
akan tersenyum tanpa kebencian agar senyumkulah yang diabadikan. Selain itu,
aku juga ingin menghadapi kematian dengan membaringkan kepalaku di pangkuanmu,
dengan penuh cinta dan kedamaian agar cinta kita berdua diabadikan.
Sawitri, bagiku engkau adalah wanita sempurna di dunia ini.
Karena cinta dan kesetiaan yang engkau hidupi, hidupku menjadi damai dan
bahagia. Kematian adalah saat damai dan kebahagiaan yang kita punya,
diabadikan.”
“Jika demikian, kita
akan memasuki gerbang kematian bersama-sama,” kata Sawitri.
“Tidak, Sawitri, setiap orang mempunyai saat serta cara
kematian yang berbeda-beda.”
“Jika demikian, kita akan berpisah, Kakang.”
“Iya, Sawitri. Kematian telah memisahkan raga kita, tetapi
kematian tidak memisahkan cinta dan kesetiaan kita. Kematian justru
mengabadikan cinta dan kesetiaan kita.”
Sawitri tercenung sejenak. Dirinya tidak membayangkan bahwa
Setiawan mempunyai pemahaman sedalam itu. Jika sebelumnya Sawitri dapat melepaskan
segala kemewahan duniawi, untuk menemukan Setiawan, sang mutiara yang ada di
belik, kini Sawitri kembali ditantang dan diuji apakah dirinya benar-benar rela
melepaskan mutiara itu kepada Sang Dewa Maut?
Rupanya Sawitri sangat cemas dengan kematian Setiawan. Jika
benar hidup suaminya diakhiri, lalu apalah arti perkawinan ini? Tidak ada
sesuatu yang ditinggalkan untuk orang lain. Nilai-nilai luhur yang dihidupi
serta diteladankan tidaklah cukup karena akan segera dilupakan. Namun, lain
halnya jika perkawinan ini telah menghasilan benih kehidupan baru. Keturunannya
itulah yang akan meneruskan serta menghidupi nilai nilai luhur yang diwariskan.
Atas dasar itulah Sawitri memberanikan diri untuk mengadu
kepada Sang Penguasa Kehidupan agar menunda kematian Setiawan.
“Ah, aku tidak akan menyerah dengan kodrat. Pasti ada pertolongan,”
gumam Sawitri.
Demi tujuan itu, selama lima hari Sawitri tanpa putus berdoa,
bermatiraga, dan berpuasa sebagai sebuah laku
untuk memohon pertolongan agar diberikan jalan terbaik bagi mereka berdua. (bersambung)
No comments:
Post a Comment