Mbah Djoyo Sumarto setia sampai tua memproduksi mainan anak, walaupun sudah sepi pembeli
lukisan oil on canvas
90 x 80cm
karya herjaka HS 2018
Sawitri oh Sawitri
herjaka HS
(16) Kesetiaan
Sang Hyang Yamadipati terkesiap. Wajahnya pucat. Warna merah
pada mukanya memudar. Ia tersadar,
tidaklah mungkin Sawitri mempunyai anak tanpa kehadiran Setiawan. Tetapi,
dengan cekatan ia pun kemudian menemukan jawaban dan berkata.
“Lho! Bukankah kamu dapat menikah lagi. Engkau diciptakan
sebagai wanita normal dan masih muda, apa susahnya untuk mengandung serta
melahirkan anak?”
Ucapan Hyang Yama kali ini benar-benar membuat Sawitri nglokro kehilangan semangat, untuk
memperjuangkan sebuah kesetiaan. Hatinya terpukul atas kata-kata Hyang Yama
yang menganggap ringan untuk melupakan perkawinannya dengan Setiawan. Badannya
menjadi lemas. Ia merebahkan diri di kaki Hyang Yama, dan matanya basah oleh
airmata.
“Dhuh Sang Hyang Yama, dewa kematian yang berkuasa, aku telah
berjanji setia kepada Setiawan seumur hidupku, dalam suka dan duka, dalam sakit
dan sehat, dalam untung dan malang.”
“Tapi kematian telah menghentikan janji setiamu, Sawitri.
Setiawan telah mati dan nyawanya ada di tanganku. Lewat kematian ini, ia telah
memasuki pintu gerbang menuju alam keabadian.
Setiap orang, tidak terkecuali, akan memasuki keabadian
melalui kematian. Tugasku adalah mencabut nyawa seseorang yang sudah tiba
ajalnya, serta mengantarkannya ke alam keabadian, seperti yang aku lakukan
terhadap Setiawan saat ini.
Jika pada saat kematian menyemput, orang tersebut hatinya suci dan jiwanya damai, maka kesucian
dan kedamaian yang ada akan aku bawa serta ke alam keabadian untuk diabadikan.
Dengan demikian di sana ia akan menikmati kesucian dan kedamaian
selama-lamanya.
Demikian pula sebaliknya, setiap orang yang mati dengan pikiran
kotor, serta menyisakan dendam dan iri
dengki, maka kotoran yang menempel, dendam, dan iri dengki yang disimpan akan
diabadikan. Di sana ia akan terbakar oleh dendamnya, serta merasakan panas atas
kedengkiannya untuk waktu yang tak berkesudahan.
Dan aku tahu bahwa Setiawan dalam hidupnya senantiasa
mengutamakan kerendahan hati, keluhuran budi, dan kesetiaan. Oleh karena itu
nilai-nilai utama dan luhur yang telah dihidupi Setiawan diabadikan di alam
keabadian.
Maka, biarlah Setiawan menikmati kebahagiaan selamanya di
alam keabadian bersama Sang Maha Pencipta, sedangkan engkau dapat bersuami lagi
untuk memberikan keturunan seperti yang telah aku janjikan.”
“Tidak, Hyang Yama. Aku tidak akan bersuami lagi. Suamiku
hanya satu, Setiawan. Walaupun Setiawan
telah mati, aku masih mencintainya serta merasakan cintanya. Jika cinta dan
kesetiaan Setiawan telah diabadikan lewat kematian, aku pun akan mengabadikan
cinta dan kesetiaan ini dalam kehidupan. Karena jika kesetiaan ikut mati, lalu
bagaimana dengan hidup? Apakah tidak ada kesetiaan di dalamnya?
Bagiku, kesetiaan itu abadi. Ia akan terus hidup walaupun
yang menghidupi sudah mati. Kesetiaan akan berpindah kepada yang hidup. Jika
yang hidup tidak menghidupi kesetiaan, ia akan bergeser kepada orang lain yang
dengan setia mau menghidupi kesetiaan tersebut.
Demikian pula dengan kesetiaan yang aku ikrarkan berdua,
selalu aku hidupi dan akan aku wariskan kepada penerusku, kepada anak-anakku
yang telah dijanjikan oleh Hyang Yama.” Kata Sawitri.
Sang Hyang Yamadipati menunduk, memandangi Sawitri yang
sedang meremas-remas jubahnya dengan jari-jarinya yang lentik. Ia telah kalah janji, dan sebagai dewa, ia
pantang mengingkarinya. Dalam hati, Hyang Yama berkata
ternyata masih ada wanita di dunia
ini yang mempunyai kesetiaan seperti Sawitri.
Hal itulah yang membuat Yamadipati terpana. Tidak hanya
karena kecerdasan dan kecantikan Sawitri, tetapi terlebih karena kesetiaan yang
dihidupi serta diperjuangkannya.
Pikiran Sang Hyang Yamadipati menerawang jauh. Ia
membandingkan Sawitri dengan Dewi Mumpuni, istrinya. Seandainya saja Dewi
Mumpuni mempunyai cinta dan kesetiaan seperti halnya Sawitri, betapa bahagianya
hidup Hyang Yama.
Mengingat kembali perjalanan hidup yang telah dilalui, mata
Sang Hayang Yamadipati pun menjadi basah, hampir saja air matanya menetes. Ia
dahaga akan kasihsetia seorang wanita yang cantik dan cerdas seperti Sawitri. (bersambung)
No comments:
Post a Comment