Semoga kami selalu sehat walafiat dan bersama-sama mencapai umur panjang
35 x 25cm
mix media di atas kertas
Herjaka Hs 2018
Sawitri Oh Sawitri
Herjaka Hs
(19) Tanda Kematian
Ah, itu masa lalu. Bukankah aku telah berhasil membahagiakan
orang yang aku cintai? Jika aku dapat membahagiakan orang yang tidak setia
seperti Dewi Mumpuni, kenapa tidak tergerak hatiku untuk membahagiakan orang yang
setia seperti Sawitri?
Pandangan Hyang Yama kembali pada Sawitri yang sedang mencium
jubahnya.
“Sawitri, lihatlah! Aku kembalikan nyawa Setiawan.”
Dengan menjulurkan tangannya, nyawa Setiawan telah
kembali ke badanraga yang tergeletak di
rerumputan. Dan seketika itu juga Setiawan hidup kembali. Sawitri berlari
menghampiri suaminya, memeluk dan menciumnya berkali-kali dengan penuh syukur
dan sukacita.
Setelah menyadari apa yang terjadi, Setiawan dengan
didampingi Sawitri menghampiri Hyang
Yama, melakukan sembah serta mengucap syukur dan terimakasih.
“Hyang Yama, selain bertugas sebagai dewa pencabut nyawa,
ternyata Hyang Yama juga mempunyai
kuasa untuk mengurungkan kematian seperti yang terjadi pada Kakang Setiawan”
“Benar, Sawitri. Jika tujuannya demi kebahagiaan serta
keselamatan manusia, apa pun bisa aku putuskan, termasuk keputusanku untuk
menghidupkan kembali Setiawan.
Ketahuilah, Sawitri, tugas utamaku adalah membawa manusia
kedalam kebahagiaan abadi melalui pintu kematian.
Oleh karena itu aku
ingin agar pada saat aku datang mencabut nyawa manusia, aku mendapati manusia
dalam keadaan bersih, suci, dan damai, sehingga dengan demikian di alam
keabadian manusia tersebut akan menikmati damai abadi, bernyanyi dan bersorak
sorai, bersukacita meluhurkan namaNya.
Tidak ada lagi jeritan-jeritan yang menyayat hati di api abadi.
Maka dari itu, aku telah memberi tanda-tanda datangnya
kematian pada manusia yang bersangkutan, mulai dari tiga tahun hingga satu jam sebelumnya.
Memang pemberitahuan itu tidak secara gamblang, melainkan melalui
pertanda dan perlambang, baik melalui pertanda alam, mau pun melalui pertanda
kehidupan.
Ingatlah akan tanda-tanda ini. Jika sering merasa capai serta
bosan dengan kehidupan dunia, sering
bermimpi pergi kearah utara, dan hidupnya seperti dilulu itu pertanda bahwa umurnya tinggal tiga tahun.
Jika rindu dengan teman atau saudara yang sudah meninggal, sering
bermimpi memperbaiki rumah, dan mempunyai perilaku yang berbeda dengan
sebelumnya, pertanda bahwa umurnya tinggal dua tahun.
Jika sering melihat sesuatu yang gaib, dan mempunyai perilaku
yang berkebalikan dari biasanya, pertanda bahwa umurnya tinggal satu tahun.
Jika sering mendengar suara yang tidak kelihatan, atau suara
binatang yang belum pernah tahu sebelumnya, pertanda bahwa umurnya tinggal enam
bulan.
Jika jari-jari tangan ditempelkan di dahi, dan dipandang
dalam waktu tiga menit, pergelangan tangan kelihatan semakin kecil dan akhirnya
putus dengan telapak tangan, pertanda bahwa umurnya tinggal satu bulan.
Jika melihat wajahnya sendiri pertanda bahwa umurnya tinggal
setengah bulan.
Jika sudah tidak berminat makan dan tidur, pertanda bahwa umurnya
tinggal satu minggu.
Namun demikian, sangat sedikit orang yang dapat membaca
tanda-tanda yang dikirimkan. Jika pun ada yang mampu membaca pertanda, biasanya
mereka abaikan, karena pada dasarnya orang takut menghadapi kematian, takut
berjumpa denganku, sehingga tanda-tanda mengenai kematian akan disingkirkan
jauh-jauh.”
Sawitri membenarkan, karena dirinya pernah mengalami. Ketika
para brahmana suci istana meramalkan umur Setiawan, yang waktu itu ia pilih
untuk menjadi suaminya tinggal satu tahun, ia berusaha untuk mengabaikan
ramalan itu.
“Hyang Yama apakah semua orang engkau beri tanda yang sama,
mulai dari tiga tahun sebelum kematian?”
“Iya Sawitri, untuk kematian secara wajar, yaitu mati kersaning Gusti.”
”Mati
secara wajar? Apakah ada kematian yang tidak wajar? Mati yang tidak dikersake Gusti?.”
“Ada, Sawitri. Selain mati kersaning Gusti ada mati salahe
dhewe dan mati begalan.
Mati salahe dhewe adalah bunuh diri, sengaja makan dan
minum yang dapat merusak tubuh dan menjadi pantangannya, sakit tidak diobati, terlalu
lelah dan mati karena kesalahan-kesalahan yang lain, termasuk kesalahan dalam
menjaga serta memelihara lingkungan. Sedangkan mati begalan adalah mati karena dibunuh, diguna-guna, di tenung,
kalap, kesambet, dicelakai dan
sebagainya.
Kedua kematian tersebut sesungguhnya kematian yang belum sampai
pada waktunya.”
“Hyang Yama, walaupun seseorang mendapat celaka, mencoba
bunuh diri, dan menjadi sasaran pembunuhan, jika belum menjadi kehendak-Nya,
bukankah orang itu akan selamat?”
“Benar, Sawitri, Sang Hyang Mahakuasa selalu menawarkan
keselamatan, tetapi itu pun kalau manusia menginginkan keselamatan. Kalau
tidak?”
“Apakah ada orang yang tidak menginginkan keselamatan?”
“Sawitri, Sawitri apakah kamu tidak melihat begitu banyak
orang yang menolak keselamatan dengan menebar celaka di mana-mana?
Semenjak adanya kematian, manusia selalu menjadi rebutan
antara yang menyelamatkan dan yang mencelakakan. Jika tidak berpegang erat pada
keselamatan, manusia akan mudah jatuh dan direbut ke dalam celaka.
Jika akhirnya manusia sengaja melepaskan atau terpaksa
melepaskan keselamatan yang ditawarkan, Sang Hyang Pencipta akan membiarkannya,
karena hal tersebut telah menjadi pilihannya sendiri. Sebagai ciptaan tertinggi
yang dicitrakan selaras dengan Sang Pencipta, manusia bebas untuk menentukan
pilihannya. Saking bebasnya, kadang-kadang manusia memilih seakan-akan sebagai
Sang Pencipta itu sendiri. ”
“Mengapa bisa demikian
Hyang Yama. Bukankan rencana Sang Hyang Mahakuasa untuk sebuah kematian
sifatnya pasti, tidak dapat ditunda atau pun
diajukan sedetik pun oleh manusia?”
“Siapa bilang Sawitri? Hyang Mahakuasa memang tahu segalanya,
tentang kematian, kapan saatnya, dan apa penyebabnya. Namun Sang Mahakuasa
tidak pernah merencanakan kematian bagi manusia. Kematian adalah pilihan
manusia, sebagai upah dari dosa. Dihadapan Sang Pencipta kematian itu tidak
ada. Yang ada adalah kehidupan dan kehidupan kekal.
Sejak awal mula manusia diciptakan, Sang Hyang Maha Pencipta memberikan
serta merencanakan yang terbaik untuk manusia. Tetapi nyatanya manusia telah
memilih jalannya sendiri, yaitu jalan kematian.
Dikarenakan kematian telah dipilih manusia, Sang Hyang Mahakuasa
menjadikan kematian sebagai salah satu jalan untuk menyelamatkan manusia.
Melalui kematian, orang benar akan dientaskan dari orang-orang durhaka. Dan
melalui tanda-tanda datangnya kematian, orang-orang durhaka diajak
menghentikan kedurhakaannya, sehingga
menjadi bersih dan suci jika kematian menjelang.
Kematian yang menjadi tanggung jawabku adalah kematian yang
ditawarkan oleh Sang Hyang Mahakuasa, kematian yang menyelamatkan. Tetapi, apa
mau dikata, ketika manusia memilih kematian dengan caranya sendiri, dengan
pilihannya sendiri, itulah kematian yang
tidak wajar, karena terjadi di luar rencana-Nya. “
“Benarkah begitu?”
“Benar Sawitri, tak terhitung jumlahnya orang yang mati sebelum
saatnya. Mereka mendatangi aku sebelum aku mencabut nyawanya.”
“Lalu bagaimana
nasibnya manusia yang mati belum saatnya?” tanya Sawitri.
“Baik mereka yang mati kersaning
Gusti, mati begalan, atau pun mati salahe dhewe, yang sampai di
hadapan Sang Pencipta akan di tangani pasukanku,
makhluk Kingkara. Mereka dibawa dengan mulut atau digondol untuk dimasukan ke dalam api.”
“Ha? Masuk neraka?”
“Bukan neraka, Sawitri, namanya api pen yucian, tempat untuk
membersihkan para suksma dan jiwa.
Ibarat emas yang dibakar dalam api, orang yang suci akan bersinar cemerlang
sehingga layak dan pantas untuk berdiam di kedamaian abadi.”
“Bagaimana dengan orang yang tidak suci Hyang Yama?”
“Ibaratnya, mereka tidak mempunyai kandungan emas sehingga,
walaupun dibakar hingga ribuan tahun, jiwanya tidak akan pernah bersinar.”
Sawitri mengangguk-angguk. Mungkin itulah yang disebut
neraka, tempat para jiwa yang sudah kehilangan kandungan emas.
“Emas” pemberian Sang Maha Pencipta telah ditukargadaikan
dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi, sehingga pada saat menghadap Sang
Pencipta, ia tidak mempunyai emas lagi.
Setelah dirasa telah cukup menjawab dan menerangkan apa yang
menjadi pertanyaan Sawitri, Yamadipati memandangi Setiawan dan berkata,
“Setiawan, karena kesetiaan istrimu dan belas kasih dari
Hyang Mahakuasa, engkau masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup di dunia
ini. Aku percaya bahwa bersama Sawitri engkau mampu mempertahankan kandungan emas
dalam hatimu dan mewariskannya kepada keturunanmu kelak, sehingga jika tiba
saatnya, jiwamu akan bersinar terang di keabadian.
Aku berharap agar engkau dapat menjadi suri teladan bagaimana
seharusnya menghidupi sebuah kesetiaan hingga ajal menjemput.”
Setelah berkata demikian, Yamadipati diam. Rupanya sudah
tidak ada lagi yang ingin disampaikan kepada Sawitri dan Setiawan. Matanya yang
tajam tetapi teduh memandangi Setiawan dan Sawitri yang bersimpuh di
hadapannya. Perlahan-lahan ia membalikkan badannya dan segera lenyap dengan
menyisakan asap merah.
Dalam hidupnya, Yamadipati tidak pernah mendapatkan
kebahagiaan seperti Setiawan dan Sawitri. Namun, ia cukup terhibur jika dapat
memberikan kebahagiaan, tidak saja kepada Sawitri yang setia kepada suaminya,
tetapi juga memberi kebahagiaan kepada Dewi Mumpuni, isteri yang telah
mengkhianati dirinya.
Sawitri dan Setiawan saling perpandangan, untuk kemudian
saling berpelukan sangat erat seakan-akan tidak mau dipisahkan.
Dengan penuh syukur dan sukacita mereka kembali ke rumah
mereka di Arga Kenanga. Keduanya membawa kayu hutan yang telah
dikumpulkan. Bagaikan merenda masa depan, kaki mereka menapaki bumi yang
memberi kesetiaan, dan wajah mereka menatap langit yang memberi keadilan.
Di ujung jalan, tampaklah pintu gerbang Arga Kenanga yang
telah lama tidak terlihat karena mata dan hati yang sedang menderita
kebutaan. Kini semuanya digelar kembali
dan menjadi benderang.
Dengan mengenakan pakaian kebesaran raja, Jumatsena menanti
di gerbang megah. Wajahnya berseri bahagia. Ia mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk anak dan
menantunya, karena merekalah yang telah
menemani perjalanannya di lorong yang gelap dan panjang. Dan kini semuanya
telah berlalu dan menjadi indah pada waktunya.
Tepuk tangan para pengawal raja serta kawula Arga Kenanga
menambah rasa haru dan sukacita mereka.
“Mimpikah ini?” gumam Sawitri
Bukan! Ini adalah kenyataan. Untaian butir-butir mutiara
kesetiaan yang dikumpulkan dalam laku
sengsara tanpa desah.
Tidak ada sesuatu yang mustahil di hadapan Sang Penguasa
Hidup.
(TAMAT)
Cerita diambil dari lakon pedalangan yang bersumber pada kakawin minor
Mahabharata
Februari 2018
Tembi Rumah Budaya Yogyakarta
No comments:
Post a Comment